Episode Sejarah Lamongan : Panji Laras-Liris



Mengungkap Tradisi Perempuan Meminang Laki-Laki di Lamongan

Panji Laras Liris Bertujuan Syiar Islam

Meski sudah mulai ditinggalkan, sebagian warga Lamongan masih memegang tradisi perempuan yang harus meminang (melamar) laki-laki. Tradisi itu diduga kuat berhubungan dengan sejarah leluhur Lamongan bernama Panji Laras Liris.

Tradisi perempuan yang melamar laki-laki sebelum melangsungkan pernikahan sudah cukup lama berlangsung di Lamongan. Tradisi itu dinilai tidak lazim, karena bertolak belakang dengan tradisi yang umum terjadi, yakni kaum laki-laki yang umumnya justru yang harus melamar kaum perempuan.

Tradisi yang tidak diketahui mulai diberlakukan sejak kapan tersebut diduga kuat ada hubungannya dengan sejarah salah satu leluhur Kabupaten Lamongan bernama Mbah Sabilan dalam riwayat Panji Laras Liris. “Riwayat Panji Laras-Liris tersebut selalu diceritakan setiap acara ziarah ke malam Mbah Sabilan untuk memperingati Hari jadi Lamongan,” kata kabid seni budaya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lamongan, Suyari.

Dalam riwayat Panji Laras Liris tersebut diungkapkan, sekitar tahun 1640 - 1665 Kabupaten Lamongan dipimpin bupati ketiga bernama Raden Panji Puspa Kusuma dengan gelar Kanjeng Gusti Ad ipati.


Bupati tersebut mempunyai dua putra bernama Panji Laras dan Panji Liris yang terkenal rupawan. Ketampanan kedua pemuda Lamongan tersebut membuat jatuh hati dua putri Adipati Wirasaba (wilayahnya sekitar Kertosono Nganjuk) bernama Dewi Andanwangi dan Dewi Andansari.

Karena terus didesak putrinya, meski dengan berat hati (karena pihak perempuan harus melamar ke pihak laki-laki) Adipati Wirasaba menuruti keinginan putrinya dengan meminang Panji Laras dan Panji Liris di Lamongan. “Saat itu warga Wirasaba masih belum memeluk Islam, sedangkan di Lamongan Islam sudah sangat mengakar,” ungkap Yari.

Menyikapi kondisi itu, Panji Laras dan Liris minta hadiah berupa dua genuk (tempat air) dari batu dan dua tikar dari batu. Benda-benda tersebut harus dibawa sendiri oleh Dewi Andansari dan Andanwangi. “Hadiah itu sebenarnya mengandung isyarat agar dewi andansari dan andanwangi mau masuk Islam. Sebab genuk mengandung isyarat tempat untuk wudlu dan tikar untuk sholat. Kedua benda tersebut saat ini tersimpan di Masjid Agung Lamongan,” ungkap Yari.

Permintaan itu dinilai sangat berat oleh Adipati Wirasaba. Meski begitu tetap dijanjikan akan dipenuhi. Selanjutnya benda-benda itu dibawa sendiri oleh kedua perempuan itu ke Lamongan dengan pengawalan satu pasukan prajurit dengan naik perahu menyusuri Kali Lamong.

Kedatangan Dewi Andansari dan Andanwangi disambut Panji Laras Liris di pinggir Kali Lamongan yang saat ini masuk wilayah Kecamatan Mantup. Kedua pemuda tersebut juga dikawal pasukan prajurit dari Lamongan dipimpin patih Mbah Sabilan.

Ketika akan turun dari perahu tanpa sadar kain panjang dewi Andansari dan Andanwangi tersin gkap dan kelihatan betisnya. Melihat betis kedua perempuan itu Panji Laras-Liris terbelalak dan ketakutan. Sebab betis kedua perempuan itu penuh dengan bulu lebat yang menakutkan. Spontan Panji laras Liris lari meninggalkan kedua perempuan itu.


Sikap kedua pemuda tersebut dinilai sebagai penghinaan oleh prajurit Wirasaba yang mengiringi kedua dewi tersebut dan langsung mengejar panji laras-liris. Sedangkan prajurit dari Lamongan juga merasa harus melindungi kedua pemuda tersebut sehingga terjadilah babad (perang). “Dalam babad itu panji laras-liris tewas begitu juga dengan patih Mbah Sabilan. Lokasi tempat perang itu saat ini bernama Desa Babadan di pinggir Kali Lamong Kecamatan Mantup,” ungkap Yari.

Jenasah Mbah Sabilan kemudian dimakamkan di Kelurahan Tumenggungan Kota Lamongan, sedangkan jenasah panji Laras Liris tidak diketahui. Nama Panji Laras Liris dan Dewi Andansari serta Andanwangi saat ini menjadi nama sebuah jalan di Kota Lamongan.

Suyari menambahkan, dari peristiwa itu Mbah Sabilan maupun Panji Laras Liris dinilai meninggal dunia ketika sedang berjuang untuk syiar Islam, karena mereka sedang berupaya mengislamkan warga Wirasaba melalui Dewi Andansari dan Andanwangi. “Dari riwayat itu juga diduga kuat munculnya tradisi pihak perempuan yang meminang laki-laki di Lamongan,” ujar Yari.(*)

Sumber : Radar Bojonegoro, Selasa, 27 Mei 2008

di 19:54

Label: sejarah lamongan panji laras liris andansari andanwangi

Comments